Oleh: Phoer Wanto | 25 Maret 2008

BBM = Benar Benar Mahal

Banyak istilah ataupun plesetan yang digunakan untuk mengakronimkan kata BBM yang dari arti sebenarnya adalah Bahan Bakar Minyak. Bukan hanya pada moment kenaikkan BBM yang terjadi di rezim Sosesilo Bambang Yudhoyono – Jusuf kala (SBY-JK) saja, namun plesetan-pelestan ini sudah ‘lazim’ digunakan pada kenaikan harga BBM di rezim sebelumnya.

Tapi saya lebih suka mengakronimkan BBM dengan istilah plesetan Benar Benar Mahal. Plesetan ini, pertama kali saya dengar di sebuah tayangan infotainment di salah satu TV Swasta yang mungkin banyak penggemarnya.

Yah…apa lagi kalau bukan “Empat Mata”. Reality Show yang terkenal dengan lucu dan humoris (karena pembawa acaranya adalah bintang pelawak Tukul Arwana bersama kru empat mata yang tempak homoris) ini, kala itu sempat membicarakan seputar kenaikkan harga BBM dengan menghadirkan sederetan artis papan atas.

Memang, topic yang dibahas Tukul Cs di empat mata ini, momentnya cukup pas. Sebab tayangan saat itu, belum lama dari hari H pengumuman kenaikkan harga BBM oleh Pemerintah.

Plesetan kalimat yang terdiri dari tiga kata ini, malam itu sempat diucapkan oleh sang pelawak ini. Istilah ini menurut Tukul pada saat itu digunakan pada konteks naiknya harga BBM itu sendiri, maupun fenomena dampak dari kenaikkan harga BBM yang terjadi kala itu.

Plesetan yang dijadikan akronim BBM yang disebutkan Tukul ini, sempat membuat saya terpikir bahwa pada kondisi seperti ini, ada benarnya juga jika kata BBM diidentikkan dengan Benar Benar Mahal. Sebab, hingga saat ini harga BBM sendiri bagi masyarakat, kian mahal. Pantesan banyak diantara mereka yang menolak jika BBM (bahan bakar minyak) ini dinaikkan harganya.

Saya berpikir, apa yang dikatakan Tukul, oleh masyarakat juga pasti akan berkata sama. Kenaikkan harga BBM ini, dari tahun ke tahun tidak membuat harga minyak semakin murah. Namanya saja ‘naik’, yah pasti ke atas lah, tidak mungkin turun ke bawah.

Dalam ilmu ekonomi khususnya pada teori harga, nilai suatu hasil produksi dikatakan mahal, ketika tidak adanya perimbangan dengan pendapatan (income) masyarakat. Artinya, daya beli masyarakat tidak akan mencukupi terhadap nilai jual suatu produk, bila nilai produk itu diatas rata-rata pendapatan masyarakat.

Kenaikkan harga BBM ini, memang bak bola panas. Berbagai macam dampak pasti akan muncul jika harga BBM dipaksakan naik. Dan pada kenayataanya terjadi. Dampak social seperti aksi demo menolak keputusan pemerintah soal kenaikan harga BBM dari berbagai kalangan.

Banyak kasus yang kita temukan di lapangan sendiri, atau yang kita saksikan di berbagai media baik cetak maupun elektronik. Sebut saja kenaikkan harga sembako, tariff angkot, bahan-bahan bangunan serta yang lain yang merupakan dampak ekonomis dari pasca kenaikkan harga BBM.

Dampak inilah yang dimaksud Tukul harga disemua semua Benar Benar Mahal. Sebab BBM dinilai sebagai pemicu dari dampak naiknya harga berbagai kebutuhan pokok yang ada.

Yang lebih parahnya lagi adalah dampak ekonomis. Kenaikan harga BBM tentu berdampak pada semua sector yang mau tidak mau ikut mengalami kenaikkan.

Namun bagaimanapun juga, alasan bagi pemerintah (di rezim siapapun) mengambil keputusan untuk menaikkan harga BBM adalah satu. Yakni naiknya harga minyak dunia.

Pemerintah SBY-JK misalnya, dengan berat dan terpaksa harus menaikkan harga BBM dalam negeri, kebijakan ini diambil mengingat harga minyak dunia kini sudah mencapai pada US $ 125 juta per barrel. Bagi pemerintah, ini adalah kebijakan yang sangat pahit. Mereka ibaratnya dihadapkan dengan buah simalakama. (makan ibu mati dan tak makan bapak mati).

Dengan mengorbankan popularitas seperti yang dikatakan oleh JK, pemerintah pun mengambil keputusan yang pahit ini. Alasanya adalah demi menyelematkan bangsa dari keterpurukan ekonomi, khususnya kebutuhan akan minyak.

Walau baru dikatakan sekarang, toh citra keduanya dimata masyarakat memang sudah tidak popular seperti dimana mereka menyampaikan visi-misi dimasa kampanye pemilu presiden (pilpres).

Indonesia yang sebelumnya menjadi salah satu Negara pengekspor minyak, kini telah menjadi pengimpor minyak terbesar di asia tenggara. Ini menandakan kebutuhan akan minyak di dalam negeri memang cukup tinggi.

Akibatnya, dengan kondisi akan kebutuhan BBM yang semakin terpuruk ini, pemerintah pun mempertimbangkan dengan keputusan politik luar negeri nya keluar dari keanggotan dari organisasi OPEC.

Walau demikian, sejumlah kalangan menilai bahwa keputusan yang akan diambil oleh pemerintah ini pun tidak memberikan dampak positif dalam negeri, terutama tentang instabilitas harga BBM. Artinya, meskipun keluar dari OPEC, namun peluang untuk terjadinya kenaikkan harga BBM masih terbuka lebar.

Sebab Indonesia disatu sisi bukan Negara pengeksport minyak, tapi pengimport minyak, disisi lain keterbatasan SDM (sumber daya manusia) membuat negeri ini tidak mampu mengelola potensi SDA (sumber daya alam) salah satunya adalah potensi disektor pertambangan. Sehingga harga minyak mentah dunia, cukup berpengaruh dan berperan penting terhadap stabilitas harga minyak dalam negeri.

Sejumlah kalangan menilai, kebijakan luar negeri yang diambil oleh pemerintah ini (keluar dari OPEC), adalah upaya untuk menghilangkan image buruk pemerintah dimata Negara dunia. Lebih-lebih di Negara-negara yang tergabung dalam organisasi minyak dunia ini.

Dahulu memang, Negara yang masuk dalam top corruption state (Negara Terkorup) ini, adalah Negara pengeksport minyak. Ini ditandai dengan bergabungnya Indonesia ke dalam organisasi OPEC. Namun, tingginya kebutuhan akan BBM tanpa di dukung oleh optimalisasi SDM untuk menciptakan potensi tambang (bahan baku minyak), membuat Indonesia dari negara pengeksport menjadi Negara pengimport minyak.

Naiknya harga minyak mentah dunia, ternyata membuat Indonesia tidak mampu membendung politik ekonomi Negara adidaya dan timur tengah ini (penghasil minyak dunia).

Langkah pemerintah menaikkan harga minyak pun diniali sebagai upaya untuk mengatasi krisis minyak di dalam menegeri. Sebelumnya, upaya penghematan minyak pun telah dilakukan pemerintah dengan mendesain penggunaan gas elpiji hingga sampai pada kalangan masyarakat bawah.

Kondisi ini, ternyata tidak mampu menjawab tantangan global yang melanda ekonomi Negara-negara pengimport minyak ini termasuk Indonesia. Belum lagi diperparah dengan krisis ekonomi yang melanda bangsa ini pasca lengsernya almarhum Soeharto.

Program BLT (bantuan langsung tunai) pun, ternyata dinilai sebuah kebijakan yang tidak tepat. Masalahnya, program subsidi atas kenaikkan harga BBM yang ditujukan kepada masyarakat miskin ini, memiliki banyak sisi kelemahannya ketimbang keunggulannya.

Yang paling menonjol adalah, ketidak tepat sasarannya dana tersebut. Bantuan Rp 100 ribu per bulan yang seharusnya difokuskan kepada masyarakat miskin ini, ternyata masih ada yang dinikmati oleh mereka yang mampu dari sisi ekonomi.

Begitupun juga, banyak diantara keluaraga miskin yang ditetapkan sebagai penerima BLT, nyaris tidak tersentuh oleh BLT. Persoalan inilah yang akhirnya memunculkan asumsi bahwa program BLT bukanlah solusi yang tepat, karena disisi lain kebijakan ini dinilai justeru membuat masyarakat kita menjadi pemalas.

Fenomena ini sekan-akan tak pernah sirna dari pernderitaan yang dialami bangsa. Bahkan kondisi buruk ini berlangsung secara kontinuitas. Sampai kapan Indonesia ini bisa keluar dari krisis multidimensi yang serba mahal ini. Wallahu’alam. (*)


Tinggalkan komentar

Kategori