Bagi yang suka berwisata religi, cobalah mengunjungi Sigi Lamo di Ternate, Maluku Utara. Masjid Kesultanan Ternate itu merupakan salah satu jejak sejarah perkembangan Islam di Maluku Utara dan Nusantara.
DALAM bahasa Ternate, Sigi berarti Masjid dan Lamo bermakna besar. Sesuai dengan namanya itu, Sigi Lamo adalah masjid terbesar di Ternate dan sekaligus tertua. Lokasinya tidak jauh dari Keraton Kesultanan Ternate. Masjid yang sudah berusia tiga abad itu dulu memang dibangun Kesultanan Ternate dan menjadi bagian dari Kompeks Kesultanan Ternate.
Selain mengandung nilai sejarah, masjid yang mulai dirintis sejak masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin sekitar 1486 Masehi itu, memiliki beberapa keunikan dan kekhasan. Mulai sejarah berdiri, arsitektur, silsilah, hingga tata cara beribadah di dalamnya.
Kekhasan dalam tata cara beribadah di masjid dirasakan saat penulis menunaikan shalat Jumat berjamaah. Begitu beduk di masjid ditabuh, para jamaah mulai berdatangan.
Yang unik, di antara rombongan jamaah yang berniat shalat jamaah di masjid tersebut, tidak ada seorangpun yang mengenakan sarung. Padahal, di masjid-masjid lain lazimnya jamaah lelaki bersarung.
Seluruh jamaah laki-laki di Sigi Lamo mengenakan celana panjang dan berpeci. Kalaupun ada jamaah yang mengenakan celana dan jubah, pengurus masjid sudah menyediakan jubah dan celana panjang dalam berbabagi ukuran termasuk juga peci.
Ibrahim Hi Ahmad, salah satu Bobato Akherat (Imam Masjid), menjelaskan, aturan shalat bercelana panjang berlaku sejak masjid itu berdiri pada abad XII. Atau sejak masuknya Islam ke tanah Moloku Kie Raha.
Tidak ada penjelasan pasti terkait tata tertib shalat dengan batasan pakaian seperti itu. Masyarakat Ternate hanya meneruskan tradisi yang sudah lama dilaksanakan para petinggi dan tokoh Kesultanan Ternate.
Versi lain menyebutkan, aturan tidak membolehkan pakai sarung di Mesjid ini, terkait dengan sejarah masuknya tekstil di tanah Maluku. Sebelum Islam masuk ke Ternate, masyarakat Ternate sudah mengenal pembuatan kain.
Namun, mereka tidak terbiasa menggunakan kain itu untuk membuat sarung. Kain produk Ternate digunakan untuk membuat celana. Celana itu juga yang akhirnya dipaai saat beribadah shalat di Sigi Lamo, sebagai pengganti sarung.
Keharusan peci, menurut Ibrahim berkaitan dengan kebiasaan Nabi Muhammad SAW yang selalu mengenakan tutup kepala saat shalat. “Kalau tidak ada peci, bisa dengan sapu tangan,” katanya.
Oh, ya, sejak berdiri jamaah yang salat di Sigi Lamo ini memang hanya dari kaum pria. Alasannya, demi menjaga kesucian masjid. “Kalau ada wanita di sana, dikhawatirkan ada yang tiba-tiba mengalami haid sehingga menodai kesucian masjid,” terangnya.
Larangan jamaah dari kaum Hawa untuk salat di Masjid yang sudah berjalan bertahun-tahun akhirnya ditiadakan pasca mendiang Sultan Mudaffar Sjah mempersunting Nita Budi Susanti sebagai permaisuri (Boki) dengan membangun dua ruang khusus yang berada di samping kiri dan kanan Sigi Lamo untuk jamaah wanita.
Yang juga unik di masjid tersebut adalah imam yang memimpin shalat bergiliran berdasarkan empat suku yang tinggal di Maluku Utara. Yakni Imam Jiko, Imam Jawa, Imam Sangaji dan Imam Moti.
Imam Jiko mewakili etnis Arab, Imam Jawa untuk etnis Jawa, Imam Sangaji untuk etnis Sangaji dan Imam Moti untuk etnis Moti. Empat imam yang mewakili empat etnis itu akan bergiliran memimpin shalat, terutama saat shalat Jumat dan Tarawih.
Keunikan lain Sigi Lamo adalah makna yang terkandung di setiap sudut bangunan masjid. Mulai anak tangga, atap, dinding hingga tiang-tiang yang terdapat dalam masjid tidak dibangun asal-asalan. Ada simbol dan makna yang terkandung di dalamnya.
Desain atap masjid yang lebih menyerupai masjid-masjid di tanah Jawa pada masanya yakni berbentuk limasan misalnya, mengandung makna ganda. Kalau dilihat dari depan, atap tersebut terlihat tujuh susunan. Itu melambangkan tingkat langit, yang menurut ajaran Islam ada tujuh lapis langit.
Uniknya, kalau dilihat dari samping, atap tersebut terkesan hanya ada lima lapis. Maknya yang terkandung di dalamnya adalah shalat wajib lima waktu sehari semalam, yang merupakan salah satu rukun Islam.
Secara keseluruhan, bangunan masjid disangga 16 tiang. Diantara belasan tiang tersebut, ada empat tiang di dalam masjid yang menjadi tiang utama.
Empat tiang utama itu melambangkan empat gunung di Maluku Utara yang biasa di sebut Kie Raha. Kie di dalam bahasa Ternate berarti gunung dan Raha berarti empat.
Empat gunung itu juga menjadi lokasi pusat empat kerajaan besar di Maluku Utara. Yaitu kesultanan Bacan, Tidore, Jailolo dan Ternate.
Yang taak kalah unik adalah konstruksi masjid. Dindingnya tidak dibuat dari semen dan pasir, namun dibuat daru campuran kapur dan serabut.
Walau usianya sudah ratusan tahun, masjid yang oleh Pemerintah Kota Ternate dan Provinsi Maluku Utara ditetapkan sebagai salah satu objek sejarah di Malut itu masih terlihat kukuh. Meski, masjid itu beberapa kali diguncang gempa berkekuatan besar yang pernah melanda Ternate (*)
Kumandang Azan Kalahkan Adat
SEBAGAIMANA banyak masjid di Nusantara yang merupakan akulturasi budaya Islam dan budaya lokal, akulturasi budaya di Sigi Lamo terlihat pada susunan shaf (barisan dalam shalat berjamaah).
Pada dasarnya, shaf pertama, kedua dan ketiga diperuntukan bagi tokoh dan kerabat kesultanan. Urutannya pun didasarkan pada silsilah dan pangkatnya di kesultanan.
Bahkan, pejabat pemerintah pun tidak diizinkan untuk menempati shaf tersebut. Untuk mereka, disediakan tempat khusus, Namun, aturan itu gugur setelah azan dikumandangkan. “Setelah azan berkumandang, yang berlaku adalah tata cara Islami, bukan adat lokal,” katanya.
Artinya, sebelum azan, masyarakat umum tidak diizinkan menempati shaf pertama sampai ketiga karena dipersiapkan untuk perangkat dan kerabat kesultanan. Namun, jika sampai azan saf-saf tersebut masih kosong -karena kerabat kesultanan tidak muncul- maka siapa saja bisa langsung menempatinya.
Keunikan juga terlihat pada jumlah bilal. Khusus pada shalat Jumat, jika di kebanyakan masjid bilal hanya seorang, di Sigi Lamo jumlahnya empat orang. “Empat orang ini menandakan empat sahabat Rasulullah, dan Tuhan menciptakan bumi ini dari empat unsur, tanah, air, api dan udara,” ceritanya.
Sebuah kerbuntungan jika bisa shalat berjamaah dengan Sultan Ternate yang kerap disapa Jou Kolano. Sebab, pemangku takhta Kesultanan Ternate itu tidak setiap hari shalat di Sigi Lamo. Biasanya, hanya hari-hari dan momen-momen tertentu sang Sultan shalat berjamaah di masjid itu atau yang dikenal dengan istilah Kolano Uci Sabea (Sultan turun Shalat).
Menariknya, meski jarak keraton ke Sigi Lamo tak lebih dari 500 meter, Sultan harus patuh pada protokoler keraton setiap turun shalat. Dia tidak boleh berjalan kaki.
Puluhan pasukan adat atau yang biasa dikenal dengan istilah Bala Kusu Sekano-kano siap mengusungnya dengan tandu untuk menempuh perjalanan ke masjid.
Selama perjalanan, seperangkat alat musik tradisional ditabuh untuk mengiringnya. Konon, alat musik tersebut sudah berusia ratusan tahun dan merupakan hadiah dari Syech Maulana Malik Ibrahim. Nama terakhir itu adalah seorang Wali Songo, sembilan tokoh penyebar Islam di tanah Jawa. (*)